TEMPO.CO, Jakarta - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. merampingkan jajaran komisarisnya yang diumumkan dalam rapat umum pemegang saham tahunan kemarin, 24 April 2019. Dalam rapat tersebut, Garuda memutuskan memberhentikan tiga nama, yakniDony Oskaria, Muzaffar Ismail dan Luky Alfirman.
Baca: Laporan Keuangan Garuda Janggal, Ini Keberatan Dua Komisaris
Direktur Niaga Garuda Indonesia, Pikri Ilham Kurniansyah, mengatakan, perseroan mengurangi jumlah komisarisnya lantaran alasan efisiensi. “Garuda ingin efisien lagi,” ujarnya kepada wartawan di Cengkareng, kemarin.
Pikri menegaskan bahwa perampingan juga dilakukan untuk jajaran direksi. Misalnya, merger antara direktur teknin dan direktur layanan. Direktur teknik yang sebelumnya dijabat I Wayan Susena dan direktur layanan yang sebelumnya diduduki Nicodemus Panarung Lampe kini dipimpin oleh Iwan Joeniarto.
Pikri menjelaskan, sejak September 2018, Garuda Indonesia telah menerapkan sistem efisiensi dalam lingkup kerja direksi. Pikri mencontohkannya dalam penggunaan mobil dinas. Ia mengklaim, sejak itu, direksi selalu memakai kendaraan pribadi tanpa uang transportasi.
Sumber Tempo menyebut ada keterkaitan antara perampingan jajaran pemimpin Garuda Indonesia dengan surat keberatan salah satu jajaran komisaris. Dikeluarkannya Dony Oskaria dari kursi komisaris santer dikabarkan lantaran sebelumnya ia memprotes laporan keuangan kerja Garuda Indonesia.
Dony, yang mewakili PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd selaku pemilik 28,08 persen saham Garuda Indonesia, enggan meneken laporan tahunan Garuda Indonesia karena dianggap janggal. Keberatan itu dinyatakan dalam surat yang ditulis pada 2 April 2019.
Dalam surat ini, Dony menengarai ada kejanggalan soal laporan keuangan yang dicatatkan Garuda Indonesia. Menurut dia, perseroan dianggap tak sejalan dengan Standar Akutansi Keuangan Negara Nomor 23. Sebab, Garuda Indonesia telah mencatatkan pendapatan yang masih berbentuk piutang. Piutang yang dimaksud berasal dari perjanjian kerja sama antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia selaku anak usaha Garuda Indonesia.
Komitmen bisnis terkait pengadaan konektivitas yang diteken pada 31 Oktober 2018 ini mencatatkan pendapatan yang masih berbentuk piutang sebesar US$ 239.940.000 dari Mahata. Dari jumlah itu, US$ 28 juta di antaranya merupakan bagi hasil dengan PT Sriwijaya Air. Tak hanya Dony, komisaris lainnya yang merupakan perwakilan PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd—perusahaan milik Chairul Tanjung atau CT—ikut melayangkan protes. Ia adalah Chairal Tanjung.
Baca: Laporan Keuangan Garuda Indonesia Disebut Tidak Sesuai Standar
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia, Fuad Rizal, menyatakan, perampingan komisaris bukan merupakan buntut dari surat pernyataan tak setuju anak buah CT terhadap laporan keuangan perseroan. Fuad menjelaskan, laporan telah disahkan oleh semua komisaris dan dicatatkan dalam annual report. “Sudah diaudit auditor independen. Hasilnya wajar tanpa pengecualian (WTP),” ucapnya.
YOHANES PASKALIS